JAKARTA - Badan Gizi Nasional (BGN) mengambil langkah progresif dengan memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk menentukan calon investor dalam pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah terpencil.
Tujuannya adalah mempercepat pemerataan akses layanan gizi bagi masyarakat yang tinggal di daerah sulit dijangkau.
Kepala BGN Dadan Hindayana menekankan, pembangunan SPPG di wilayah terpencil menjadi strategi penting untuk memastikan layanan gizi dapat hadir hingga pelosok negeri. Berdasarkan data BGN, terdapat sekitar 8.000 lokasi yang sudah terpetakan bersama Satuan Tugas Pemerintah Daerah (Satgas Pemda) di seluruh Indonesia.
"SPPG di daerah terpencil dibangun di lokasi yang jaraknya lebih dari 30 menit dari daerah terdekat, bisa di pegunungan, pulau kecil, daerah yang dipisahkan sungai atau laut, maupun pedalaman. Pemerintah daerah memiliki peran besar menentukan titik lokasi dan calon investor," ujar Dadan.
Setiap pembangunan di daerah terpencil memiliki pola berbeda dibandingkan dengan daerah aglomerasi. Bangunan berukuran sekitar 10x15 meter dirancang untuk menampung kurang dari 1.000 penerima manfaat. Setelah selesai, fasilitas langsung disewa oleh pemerintah selama empat tahun agar operasionalnya berkelanjutan.
Skema Investasi dan Operasional SPPG Terpencil
Skema sewa empat tahun di muka ini menjadi inovasi agar pembangunan cepat dimanfaatkan masyarakat. Dadan menegaskan bahwa koordinasi dengan Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, menjadi bagian penting untuk menilai kelayakan setiap lokasi.
Sebagai contoh, satu unit SPPG dibangun dengan biaya sekitar Rp1,5 miliar, sedangkan nilai sewanya selama empat tahun bisa mencapai Rp2 miliar, tergantung hasil evaluasi tim Kemenkeu. Skema ini dirancang agar investasi lokal terdorong, sekaligus memastikan fasilitas bisa segera difungsikan.
Selain itu, setiap SPPG di daerah terpencil akan dikelola dengan melibatkan masyarakat lokal dan pemuda setempat, sehingga manfaatnya benar-benar terasa. Pendekatan ini tidak hanya menyediakan layanan gizi, tetapi juga mendorong pemberdayaan komunitas di sekitar lokasi.
Sebaran SPPG Terpencil di Seluruh Indonesia
Sebaran SPPG terpencil mencakup hampir seluruh provinsi di Indonesia. Di Sumatera terdapat 1.945 titik, Jawa 235 titik, Kalimantan 1.783 titik, Sulawesi 969 titik, Bali dan Nusa Tenggara 1.265 titik, serta Papua 2.043 titik.
Dari total 8.246 lokasi, sebanyak 8.218 sudah terverifikasi dan memiliki calon investor, sementara 68 titik masih menunggu proses verifikasi. Dadan menargetkan sebagian besar SPPG di daerah terpencil dapat rampung pada Desember 2025, dan sisanya selesai pada Januari 2026.
Dengan keberadaan 8.286 SPPG, diperkirakan fasilitas ini akan melayani antara 2,5 hingga 3 juta penerima manfaat. Pengelolaan yang melibatkan masyarakat lokal diyakini akan meningkatkan efektivitas program dan keberlanjutan operasional fasilitas.
Harapan BGN dan Manfaat Bagi Masyarakat
BGN menekankan bahwa pembangunan SPPG terpencil merupakan bagian dari upaya nasional untuk menurunkan angka malnutrisi dan memastikan setiap warga memperoleh akses gizi yang memadai.
"Melalui model kemitraan dengan investor lokal dan koordinasi lintas instansi, SPPG dapat menjadi contoh program layanan publik yang efektif. Masyarakat dapat merasakan manfaat langsung, sementara pemerintah daerah juga memperoleh keuntungan dari peningkatan kapasitas pelayanan," pungkas Dadan.
Dengan strategi ini, BGN berharap pemenuhan gizi di daerah terpencil bisa sejalan dengan target nasional, sekaligus mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan fasilitas kesehatan dan gizi. Program ini menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi pemerintah dan investor lokal dapat menciptakan dampak sosial yang luas.