JAKARTA - Jumlah peminjam muda yang terjebak kredit macet di fintech lending menunjukkan tren peningkatan signifikan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, akun peminjam di bawah 19 tahun yang pinjamannya macet mencapai 21.774 pada semester I-2025, melonjak 763 persen dibandingkan periode sebelumnya yang sebanyak 2.521 akun.
Tidak hanya itu, kelompok usia 19-34 tahun juga mengalami kenaikan kredit macet sebesar 54,4 persen menjadi 438.707 akun. Kenaikan ini menunjukkan adanya risiko finansial yang semakin besar di kalangan anak muda, seiring meningkatnya akses mereka terhadap layanan pinjaman digital.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, menjelaskan bahwa rendahnya literasi keuangan di kalangan generasi muda menjadi salah satu penyebab utama. "Selain itu, disebabkan rendahnya kesadaran pengelolaan keuangan di kalangan generasi muda," ujarnya.
OJK pun telah mengeluarkan aturan dalam Surat Edaran Nomor 19 Tahun 2025 untuk membatasi usia minimal peminjam 18 tahun serta menetapkan penghasilan minimum Rp 3 juta. Upaya ini diharapkan dapat menekan tingkat kredit macet sekaligus mendorong masyarakat lebih bijak dalam menggunakan fintech lending.
Faktor Penyebab dan Risiko Kredit Macet
Pengamat ekonomi digital Nailul Huda menekankan bahwa faktor utama meningkatnya kredit macet adalah ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pendapatan anak muda. Banyak peminjam termotivasi untuk mengambil pinjaman meski kemampuan bayar terbatas.
"Selain itu, mereka juga terpapar dengan informasi terkait dengan gagal bayar, sehingga membuat mereka mencoba peruntungan. Jadi, peningkatannya sangat tajam dalam hal akun, tetapi rata-rata nominal pinjaman yang macet itu rendah," jelasnya.
Nailul menambahkan bahwa risiko jangka panjang dari tunggakan pinjaman bisa memengaruhi kemampuan generasi muda mengakses fasilitas kredit lain di masa depan. Sistem credit scoring menjadi krusial, terutama terkait validitas konfirmasi pendapatan.
Peminjam non-karyawan yang tidak memiliki slip gaji dapat menghadapi kesulitan dalam mengakses pinjaman, sehingga diperlukan mekanisme yang menjangkau semua kalangan agar penilaian risiko lebih akurat.
Regulasi dan Edukasi Sebagai Solusi
OJK terus mendorong fintech lending menerapkan standar seleksi borrower yang lebih ketat dan edukasi keuangan bagi masyarakat. Pembatasan umur dan rasio penghasilan merupakan langkah awal yang dinilai efektif untuk menyaring peminjam berkualitas.
Nailul menambahkan, pembatasan ini membantu platform fintech mengurangi risiko gagal bayar. "Ketika dibatasi usia dan pendapatan nominal tertentu, saya rasa platform bisa menyaring awal borrower yang berkualitas," ujarnya.
Selain itu, OJK juga memperkuat pengawasan dan mendorong program literasi keuangan agar anak muda dapat lebih memahami risiko pinjaman digital. Dengan pemahaman yang lebih baik, generasi muda diharapkan mampu mengelola utang secara bijak dan menurunkan kemungkinan terjerat kredit macet di masa depan.
Langkah Strategis Fintech dan Dampaknya
Beberapa perusahaan fintech mulai menyesuaikan strategi untuk menghadapi peningkatan kredit macet. Langkah-langkah yang diterapkan antara lain verifikasi pendapatan lebih rinci, pembatasan nominal pinjaman, serta penyesuaian algoritma credit scoring agar lebih realistis dengan kondisi peminjam.
Strategi ini dinilai penting untuk menjaga kesehatan portofolio pinjaman sekaligus memperkuat kepercayaan investor dan pemangku kepentingan di industri fintech.
Dengan kombinasi pengawasan ketat, edukasi publik, serta penyesuaian operasional, industri fintech berharap dapat menurunkan rasio kredit macet dan tetap menarik bagi investor. Kondisi ini juga menandai pentingnya literasi keuangan bagi generasi muda agar mereka mampu memanfaatkan layanan digital secara aman dan produktif.